Minggu, 27 November 2011

ICAHA, Sayang.....!!!



Entah sudah berapa lama aku terperosok ke lembah hitam, berbaur dengan ganja, sabu-sabu, miniuman keras, dugem, ganti-ganti pasangan, dan entah apa lagi namanya yg selama ini telah memberikan kenikmatan besar bagiku. Aku seolah tidak mampu untuk hidup damai tanpanya, sebab aku sudah muak dengan hidup yg penuh dengan aturan. Ini kek, itu kek, sholat kek, puasa kek, ngaji kek, ach... aku muak, benar-benar muak. Lebih baik aku hidup bebas, lepas tanpa harus ada aturan yg mengikat.

Di sana ada Toni, Anang, Robert, Stin Fay, Jacky, Deni dan Iwan yg kesemuanya itu telah mengajariku cara hidup baru. Bahkan mereka juga telah memperkenalkan aku pada kenikmatan. Lagi-lagi aku tidak dapat mengelak. Walau pertama kali aku ragu, namun lama kelamaan aku ketagihan juga. Memang benar kata mereka.


"Hidup ini harus dinikmati selagi ada kesempatan dan jangan disia-siakan. Resiko itu urusan belakangan, yg penting kita happy, bebas dan tuntas tas taaaasss. Hahahaha...!".


Ach.., mereka sudah gila kali, tapi kupikir benar juga. Dari pada mikirin aturan hidup yg bikin kepala mumet kalang kabut, mendingan happy, happy dan happy. Untuk itupun aku tidak harus di tempat mewah, di gang kotor juga bisa, sebab kenikmatan memang tidak mengenal aturan dan tempat.
"Aku bebaaaaaaaaaasss !"



 ‎*Pagi aku pulang dengan muka kusut dan rambut acak-acakan. Maklum tadi malam aku begadang. Semua itu sudah menjadi rutinitasku bersama teman-temanku. Apalagi malam minggu merupakan malam panjang untuk bersenang-senang, atau istilah kerennya malam seribu bintang, bisa-bisa nggak ingat pulang.

"Bi..., bi Inah, cepat sediakan air hangat saya mau mandi" bentakku dengan suara cukup keras. Kulihat bi Inah datang dengan tergopoh-gopoh menghampiriku. Ia seorang pembantu yg baru beberapa hari bekerja di rumahku.
Kalau tidak salah dia itu adalah pembantu kesepuluh kalinya, sebab setahuku yg lain pada berhenti dengan alasan tidak betah, tidak suka dibentak-bentak, apa peduliku mereka itu kan pembantu. Wajar donk kalau dibentak-bentak dan diperintah ini, itu segala macam. Kalau tidak mau di bentak ya jangan jadi pembantu, lebih baik jadi pengemis atau pemulung di jalanan, enak kan...!

"Ya den, ada apa, ada yg bisa bibi bantu?" tanyanya dengan nafas yg masih terengah-engah.
"Yaah... dasar budeg, aku sudah teriak-teriak masih saja tidak dengar, kupingmu macam apa sih..? Heh... ambilkan air, aku mau mandi, cepat sana..!" sahutku dengan sedikit kesal. Memang aku paling tidak kalau pembantu masih banyak tanya.

"Oo... E...eh ya den, ya... ya", jawabnya seenaknya sambil ngeluyur pergi.

"Ada apa sih, pagi-pagi udah bikin ribut, sudah nggak pernah ada di rumah, ngalap tiap malam, e...datang-datang malah bikin ribut. Kapan sih kakak mau sadar?" suara itu menghentikan langkahku
menuju kamar. Suara itu sering aku dengar. Siapa lagi kalau bukan Icha adik kecilku yg cerewet.

"Memangnya kenapa? Itu kan hakku. Mau terhak-teriak, mau ribut-ribut, mau jungkir balik, terserah kakak. Lagian yg punya mulut kan aku".

"Ya...aku tahu, kakak yg punya mulut, tapi yg dengar kan seisi rumah ini. Lagian kakak seenaknya bentak-bentak pembantu. Walaupun dia itu lemah, tapi dia masih punya harga diri seperti kita, manusia. Ia berhak untuk dihargai. Gara-gara kakak pembantu yg lain pada berhenti,
apa sih maunya kakak?"

"Hahahaha apa mauku? Hmmm, aku mau kebebasan adekku manis, aku tidak mau terikat oleh aturan yg membuat aku tidak mampu bergerak. Hei bocah cilik..! Kamu jangan sok alim. Pakai jilbablah, ceramahlah, memangnya kamu mendapat gaji dari celotehanmu itu? Dan perlu kamu tahu kalau pembantu itu tak ubahnya keledai, dia itu kan dibayar, wajar donk kalau aku bentak-bentak. Habis dianya sih yg budeg."

"Kakak, kamu ini sudah keterlaluan, tidak tahu perasaan, dasar tidak tahu diri..!"
 "Diam, sekali lagi kamu bilang begitu, jangan harap kamu selamat..!"

"Tidak, aku tidak akan diam selagi kakak tidak mau sadar kalau kakak sebenarnya telah dirasuki syetan, istighfar kak..!"

"Pyaaaar....", sebuah tamparan hangat mendarat dipipinya yg lembut, aku tidak kuat menahan emosiku.

"Leo, apa-apaan kamu ini, setiap hari kamu bikin ribut, ngelayap dan sekarang adikmu kamu jadikan sasaran emosimu. Apa maumu..?" bentak papa dengan nada marah yg ketika itu muncul dari balik pintu ruang makan bersama
mama.

"Habis dia itu suka ngomel, ngasih nasehat, padahal aku tidak butuh, nyebelin", jawabku sekenanya.

"Adikmu itu ingin agar kamu sadar, biar kamu tidak suka begadang, jarang di rumah. Apa yg kamu dapat dari semua itu?" Jelas mamaku.

"Kebebasan Ma, kebebasan. Aku ingin bebas tidak terikat oleh aturan-aturan yg membatasi ruang gerakku, aku ingin bebasssss, hahaha.

"Tutup mulutmu, dasar anak tidak tahu diri, pergi kamu dari sini..! Silahkan cari kebebasan itu di luar jangan lagi kembali ke rumah ini.
Aku sudah muak melihat tingkahmu itu Leo," hardik papa tiba-tiba. Kulihat muka papa merah padam menahan amarah. Memang sebenarnya aku harus pergi dari tempat ini, tempat yg bagiku tak ubahnya sebuah penjara.

"Baik pa, aku akan segera pergi, aku juga sudah muak tinggal di rumah ini. Aku sudah muak dengan segala macam aturan di sini, selamat tinggal.." kataku kesal. Bergegas aku pergi menuju kamarku untuk mengambil ranselku. Aku akan pergi. Ya, pergi dari keterikatan menuju kebebasan. Kebebasan untuk hidup, kebebasan untuk berbuat dan kebebasan untuk segala-galanya. Namun belum sempat aku membuka pintu kamarku, Icha mencegahku, ia pegang tanganku erat-erat seolah tidak merelakan kepergianku.

"Tidak.., kakak jangan pergi. Jangan tinggalkan Icha sendirian. Icha sayang kakak, jangan pergi kak..! Pintanya dengan isak tangis yg kian menderu. Kulihat air matanya mengalir deras di balik matanya yg sayu. Hatiku luluh juga, tapi apa boleh buat, aku terlanjur membulatkan tekad untuk pergi.
 
"Tidak Icha, aku sudah terlanjur terjerumus kelembah hitam, aku tidak ingin mengotori seisi rumah ini, aku tidak ingin mengotori kesucian tanganmu. Maafkan kakak, kakak telah menyakitimu. Tapi kupikir itu juga salahmu, karena kamu tidak mengerti keinginanku kalau aku tidak mau diatur. Biarlah aku hidup dengan jalanku sendiri. Jaga dirimu baik-baik, aku... ah..!" aku tidak kuasa melanjutkan kata-kataku. Dengan sedikit menyesak aku melepas pegangan tangannya yg kian erat, lalu kutatap wajah papa, mama dan Icha untuk yg terakhir kali sebelum aku benar-benar pergi bersama motor kesayanganku ALFA 2000 setelah mengemas barang-barangku di kamar.
*Kulihat ada sedikit penyesalan di wajah mereka. Aku juga, tapi semuanya sudah terlanjur. Aku tidak mungkin kembali lagi lalu bersujud di hadapan papa dan mama untuk minta maaf dan aku yakin papa tidak akan pernah menerimaku untuk kembali seperti dulu, ketika masih belum ada Icha dan Ela, ketika aku masih belia, mereka curahkan kasih sayangnya sepenuhnya padaku.


Namu setelah aku menginjak dewasa, setelah aku bukan lagi anak mama yg cengeng, setelah aku mampu berpikir mencari jalanku sendiri, setelah kehadiran kedua adikku Icha si bungsu yg alim dan Ela adikku yg sekarang ada di pesantren, aku jadi asing di tengah mereka, aku lebih suka berfoya-foya, mencari hiburan, mabuk, begadang dan gonta-ganti pasangan. Sholat yg dulu tidak pernah aku tinggalkan kini sudah aku lupa urutannya dari mana aku harus memulai. Semuanya sudah berubah, seolah jalan kami memang sudah berbeda, aku ingat dulu ketika suatu saat mama menasehatiku.

"Leo, kamu nampaknya sudah banyak berubah, kamu bukan lagi Leo yg dulu, yg aktif sholat, ngaji, belajar, malah kian hari kamu tambah nakal, selebor, sering bolos, ga pernah ke mesjid. Tuh lihat adikmu Icha, walaupun dia masih kecil, tapi dia rajin bangun malam, ngaji. Seharusnya kamu sebagai kakak memberi contoh yg baik mereka, eee...malah terbalik. Kamu ini sudah dewasa Leo, malu dong sama adik-adikmu itu. Hmmm....payah kamu Leo". katanya sambil menarik nafas panjang. Lagi-lagi Icha, lagi-lagi adikku. Huh sebel, dan mungkin mama tidak pernah menyangka kalau aku akan menjawab seperti ini.

"Bosan ma, dari dulu sholat terus. Kapan mau jalan-jalan, happy sama teman, udah deh ma, nggak usah ngatur aku terus-terusan, aku kan sudah dewasa. Kalau pas waktunya nanti, aku pasti sadar kok Ma..." jawabku seenaknya sembari ngeloyor pergi tanpa mengindahkan mama yg kian kesal terhadap sikapku yg kian nakal. Di mata mereka, aku hanyalah sampah. Entah siapa yg patut disalahkan atas semua ini, aku atau mereka. Yang jelas kami memang jauh berbeda.



"Maafkan aku, Papa, Mama, Icha, Ela, kalian tidak bersalah dan aku pun tidak akan pernah merasa bersalah sebab hidup ini hanyalah sandiwara. Kalaupun mungkin suatu saat kita kembali bersua, suasananya mungkin akan berbeda. Selamat tinggal Papa, Mama, Ica dan Ela. Selamat tinggal semuanya..."

Ach....!
*Siang itu aku terus melaju bersama dengan motorku menyusuri jalan utama kota Surabaya yg sesak dengan lalu lalang kendaraan. Berbagai macam kesibukan dan aktifitas manusia di kota ini sudah tidak asing lagi di mataku. Sebab boleh dibilang ANJAL alias anak jalanan. Tapi tak sehebat Ali Topan yg ada di sinetron itu. Kulihat pedagang kaki lima sibuk menawarkan barang dagangannya. Kondektur bus kota sibuk mencari penumpang, para loper sibuk menjaja koran, semuanya serba sibuk. Mungkin hanya aku yg terlihat santai di atas motorku, atau mungkhn karena aku bingung.

Hampir dua jam motor ini aku
biarkan melaju melewati gang-gang, terminal. Bahkan jarang dikejar-kejar polisi gara-gara ga pake helm dan menerobos lampu stop yg sedang menyala di perempatan jalan, namun dengan kepandaianku ngebut yg pernah aku pelajari dari Stin Fay, aku mampu berkelit dari kejaran pengemis jalanan itu.

Pada puncak kebingunganku aku pastikan untuk pergi ke rumah Stin fay, sahabat dekatku yg pertama kali memperkenalkanku pada kenikmatan melayang di alam khayal, ngebut dan semua kebebasan hidup yg pernah aku rasakan.


Kupelankan laju motorku setelah sampai dikawasan jalan darmo, kupandangi sederetan villa mewah yg penuh dengan taman bunga segar yg menyeruak hidungku. Kehentikan motorku di depan sebuah villa yg boleh dibilang termewah di antara semua villa yg kawasan itu. Aku yakin kalau aku tidak tersesat dan di depan pintu utamanya kulihat tulisan yg cukup panjang, Rose Dela Stin Fay Santa Anggelo Van de Rasez.

Nama yg membikin telingaku geli. Nama itu merupakam kepanjangan dari Stin Fay pada kartu nama yg ia
berikan beberapa waktu yg lalu. Maklum, ia memang anak blasteran, papanya yg orang jerman dan mamanya seorang wanita jawa tulen. Kupandangi sekitar rumah itu, hening. Hanya gemericik air mancur yg seolah menari pada sudut taman rumah besar itu. Namu kucoba memberanikan diri untuk memijit tombol bel yg terletak di samping pintu utama ruang tamu. Belum sempat tanganku meraih tombol itu sebuah moncong senapan mendarat di kepalaku. Seketika bulu kudukku berdiri, keringat dingin pun mengucur deras.
‎"Angkat tangan..! Kamu mata-mata ya..," bentak orang yg bertopeng ala ninja, bertubuh kekar dan bertato di lengannya itu padaku serta menyeretku dan mendudukanku di sebuah kursi depan rumah itu. Bibirku gemetar, lidahku kelu- dan keringat dingin kian deras mengucur di sekujur tubuhku membasahi kemejaku, entah apa jadinya aku jika pelatuk senapan itu di tariknya, aku tidak dapat mengelak, dan... "DOR", matilah aku.

"E,..em..ma..maaf, saya bu...bukan mata-mata, saya ha...hanya ingin ber...bertemu dengan
pe...pemilik rumah ini tuan, eh...bung...ee...om.." kataku terbata-bata. Tubuhku kian gemetar dahsyat. "Apakah aku salah alamat atau mungkin rumah ini bukan milik Stin Fay lagi. Tapi kupikir tidak mungkin, sebab nama kebesarannya masih terpampang jelas di pintu utama rumah megah ini, atau...atau jangan-jangan ia dalam bahaya. Ah...aku jadi bingung." gumamku dalam hati. Tapi tiba-tiba...

"Ha...ha...ha...tertipu kau, rupanya kamu masih ingusan, hehehe" tawa itu meledak-ledak dari mulut orang itu sembari
menarik moncong senapannya dari kepalaku dan membuka topengnya.



"Yaa, dasar sialan lho kunyuk, untung jantungku kagak copot, gurau sih boleh, tapi jangan keterlaluan gitu dong. Awas lho ya.., ngibulin gua lagi gua geprok kepala lho..! Kataku kesal. Makian-makian pedas mendarat di telinganya. Dasar Stin Fay orangnya agak miring tapi baik. Sungguh kalau bukan dia itu sahabatku, sudah aku tonjok mukanya.

"Hei marah ya.., jangan gitu dong, aku kan cuma gurau, udah deh lupai aja. Oh ya...by the way ada
perlu apa kamu kemari, kok kayaknya serius, nggak kasih kabar lagi," tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Ah...nggak, aku cuma kangen aja sama kamu, kita kan sudah lama ga ketemu, memangnya nggak boleh?" kataku.

"Sudahlah Leo, jangan bohong aku yakin kamu punya masalah, dari raut wajahmu, aku yakin kamu habis dimarahi sama bokap dan nyokap lho, atau tengkar lagi sama adik kecilmu?" terkanya.

"Dari mana kamu tahu kalau aku habis dimarahi papa?" tanyaku.

"Aku hanya nebak-nebak saja, soalnya kamu tampak
murung, lagian kamu ngapain bawa ransel segala," jawabnya. Aku tidak dapat membohongi diriku sendiri, aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali harus berkata jujur.


"Yah...begitulah Fay, kamu tahu sendiri kalau aku sering tidak akur sama keluargaku, apalagi mereka sering mendekteku, melarang aku bergaul sama teman-teman. Pokoknya semua aturan yg mereka sodorkan kepadaku bikin aku muak," kataku kesal.

Kembali terlintas bayangang papa yg ketika itu sedang memarahiku, aku benci banget, namun ketika
wajah Icha yg polos dan lugu berkelebat di depanku, dalam pandanganku yg kosong, dengan mata yg berkaca-kaca, aku tak mampu menyembunyikan penyesalanku.



Saat ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali papa dan mama. Adikku Ela jauh ada di pulau Madura di pesantren MITSHIB Baipajung, sedang aku, entah kapan bisa kembali bersamanya. Mungkin ia lagi berdoa agar aku sadar seperti yg pernah ia katakan tempo hari, atau saat ia sedang menangis, ach....

"Sudahlah bro, nasibku juga sama dengan nasibmu. Aku juga
diusir oleh papa dan mama gara-gara aku sering teler, tapi aku yakin tanpa mereka pun aku masih bisa hidup. Buktinya villa, mobil dan kesemuanya ini adalah hasil usahaku bersama teman-teman dan kamu juga harus yakin kalau kamu juga bisa kaya mendadak walau tanpa mereka, isn't it..?" katanya meyakinkan.

"Ya... aku percaya, tapi untuk saat ini aku masih ragu sebab aku tidak sepertimu yg memang sudah pandai berbisnis. Aku tidak punya apa-apa selain yg kamu lihat sekarang. Makanya aku ingin tinggal di
sini barang beberapa waktu hingga aku pekerjaan, boleh...?" kataku.



"Tidak usah kamu bilang untuk sementara waktu, bahkan aku lebih suka kamu mau tinggal untuk selamanya di sini dan bekerja denganku. Kebetulan bosku butuh orang sepertimu, aku yakin kamu mampu melaksanakan tugas ini dan kamu akan jadi jutawan, percayalah...!" katanya lagi.

"Pekerjaan apa itu..?"

"Sudahlah jangan banyak tanya, besok kamu akan tahu sendiri, yg penting kamu dapat uang banyak dan cepat kaya raya ha...ha...ha... Kita
akan jadi jutawan dan kita akan lebih bebas lagi berbuat apa saja, haha" jawabnya disertai tawa terbahak-bahak. Aku jadi ragu terhada kata-katanya yg tak begitu jelas. Tapi aku tidak bisa menolak. Aku tidak punya pilihan lain kecuali harus kuterima tantangan itu.

"Ya...oke Fay, aku akan coba pekerjaan itu, aku terima tawaran dan tantanganmu", kataku mantap.

*Pagi itu aku mendapat tugas baru dari om Dody, seorang pengusaha yg beberapa hari lalu Stin Fay perkenalkan padaku. Tugas itu tidak begitu berat,
tapi beresiko. Antar jemput narkotika bukanlah pekerjaan yg mudah dilakukan oleh semua orang. Tapi dengan kepandaianku ngebut, om Dody tidak meragukanku dalam melakukan tugas yg beresiko maut itu. Sejak seminggu yg lalu sudah tiga kali aku laksanakan tugas ini dengan baik dan hasilnya memuaskan. Kini tantangan maut itu kembali harus aku hadapi.

"Hm... Leo, nampaknya kamu cukup piawai dalam melaksanakan tugas berat ini, aku salut atas keberanianmu. Selamat, oh ya... Leo, sekarang kama ada tugas baru.
Tugas yg sama seperti kemarin, namun kali ini agak lebih berat, sebab barang itu harus kamu antar pada salah seorang bos sindikat pengedar narkoba di kawasan Surabaya bagian barat. Di sana sangat rawan mata-mata polisi. Asal kamu berhati-hati, aku yakin kamu berhasil, dan ini untuk membeli kebutuhanmu. Ambillah...!" katanya sambil menyerahkan bungkusan kecil. Entah apa isinya, yg jelas ini bukan barang berharga.

"Terima kasih om, saya akan laksanakan tugas ini dengan baik. Permisi", kataku lalu pergi
dengan langkah mantap membawa satu tas narkoba itu. Dengan berpakaian ala guru, aku yakin dapat mengelabuhi para petugas keamanan dan orang-orang yg akan mencelakakan aku. Walau om Dody menyarankan aku agar menggunakan mobil yg telah ia sediakan beserta pengawal pribadiku, aku lebih suka menggunakan motorku untuk pekerjaan seperti ini, sebab aku akan lebih mudah menghilangkan jejak dari kejaran polisi.

Mamun, kali ini aku bernasib sial, sebuah mobil membuntutiku. Mobil sedan BMW berwarna hitam gelap
itu kian kencang mengejarku ketika aku larikan motorku menuju sebuag gang yang aku yakin tidak dapat dilewati mobil. Benar, mobil itu tidak terlihat lagi di belakangku. Kuhentikan motorku di tempat yg cukup sepi untuk sekedar menghisap rokok Marlboro kesukaanku. Dalam keterpakuanku, tiba-tiba melintas bayangan wajah Icha di benakku. Kulihat ia seolah-olah melambaikan tangannya memanggilku untuk kembali.

Aku tidak dapat melupakan linangan air matanya yg mengotori kerudung putihnya yg cantik ketika
terakhir kali aku menatapnya. Kutatap wajahnya yg mungil pada sebuah poto ukuran mini yg sempat aku selipkan di dompeku yg kusut. Walau poto itu sudah mulai buram, namun masih kulihat senyumnya yg manis di bibirnya.

Setitik kesadaran kembali muncul di hatiku yg paling dalam. Sebenarnya ingin sekali aku kembali ke rumah, hidup damai seperti dahulu bersama papa, mama dan adik-adikku. Tapi apakah Allah masih mau memaafkanku, sedangkan dosaku tak terhitung dan menumpuk.

Namun aku yakin Allah masih mau
membukakan pintu taubat untukku dan aku berniat, ini untuk yg terakhir kali. Aku akan segera pulang menemui papa, mama dan Icha untuk meminta maaf sebab aku yakin mereka juga telah merindukanku kembali seperti dulu, ketika aku masih begitu lugu dan adik-adikku yg lucu.

Ketika aku rasa sudah aman, kulanjutkan perjalananku. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan jam 12 siang. Tak terasa sudah lima jam aku nongkrong di gang pengap ini. Bosan.

Segera aku tinggalkan tempat itu menuju jalan utama kota
untuk menghirup udara yg lebih segar. Kularikan motorku lebih cepat lagi untuk menghindari sengatakan terik matahari. Namun, belum seberapa jauh aku meninggalkan tempat persembunyianku, tiba-tiba sebuah mobil trailer melintas dan berhenti tepat di depanku, aku tersentak, aku tidak dapat mengelak. Jarak antara motorku dengan mobil begitu dekat, keseimbanganku lenyap, lalu....

"Braaaaaaakkk...! tabrakan itu tidak dapat aku hindari. Pada sisa kesadaranku, yg sempat aku ingat nopolnya "L 1125 GB" itu lari.
Darah mengucur deras dari kepalaku. Kulihat wajah Icha pada dompetku yg jatuh tepat di mukaku. Ia tersenyum sebelum akhirnya aku benar-benar tidak ingat lagi apa-apa lagi.

*Aku berlari dan terus berlari, bersama gemuruh angin yg seolah membawaku melayang kencang sekali. Tak kurasakan lelah hinggap di tubuhku. Yang aku tahu aku terus saja berlari mengejar sesuatu yg sulit aku bayangkan dan tak pernah ada dibenakku sebelumnya. Namun dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara memanggilku.

"Kakak.., kak
Leo, jangan tinggalkan Icha kak. Tungguuu...!" suara itu terus terngiang di telingaku bahkan semakin jelas. Namun, aku tidak memperdulikannya. Aku tetap saja berlari, sepertinya aku tidak lagi di dtnia. Ya, aku ada di alam baru yg segalanya sangat asing dan langka. Yang kudapat hanyalah kehampaan. Kecuali suara itu, suara panggila adikku Icha yg semakin jelas di telingaku.

"Kakak, kembalilah..! Jangan tinggalkan Icha sendirian. Aku mohon kak..!" hinggu aku
berhenti di sebuah tebing curam, suara itu
kian jelas. Bahkan di balik kabut, samar-samar kulihat sesosok tubuh menghampiriku. Jelasnya seorang bocah perempuan yg masih belia. Icha, yaa....dia Icha adekku. Adek kesayanganku.

Ia terus saja menghampiriku lalu aku peluk ia dengan pelukan kasih sayang untuk seorang adik yg selama ini belum pernah aku lakukan. Namun, tiba-tiba serasa ada hawa dahsyat yg menarikku hingga belum sempat ia meraih tanganku, aku terpelanting jatuh ke dalam jurang itu.

"Tidaaaaaak...!" Icha adikku berteriak histeris.
Aku berusah naik dengan sisa tenagaku melalui akar sebatang pohon yg sempat aku raih dengan tangan kiriku sebelum aku benar-benar terjatuh. Aku lihat Icha menangis sembari mengulurkan tangannya membantuku naik. Ia terus mencoba meraih tanganku walau sangat sulit karena terhalang bongkahan batu besar.

Di dalam keputus asaan yg kian memuncak itu, aku dapat meraih tangannya. Lembut. Namun ia tidak mampu menahan beban tubuhku yg berat yg akhirnya terjungkal dan terjatuh bersamaku. Pada sisa kesadaranku,
kurasakan hangat tangannya yg mungil dalam genggamanku.

"Ichaaaaaaa...!"

*Aku tersentak lalu terbangun dari ketidaksadaranku. Satu hal yg masih aku rasakan, genggaman hangat tangan adikku. Yang aku ingat tubuhku penuh dengan balutan kapas dan tanganku tertusuk jarum infus, namun masih belum begitu jelas, sebab pandanganku masih kabur. Tapi lama kelamaan segalanya semakin jelas. Seraut wajah sayu tepat dimukaka.

Aku tidak dapat menyembunyikan rasa haru dan kerinduanku terhadap adikku yg selama ini
menghantui jiwaku. Segera kuraih ia dalam pelukanku, kutumpahkan segala penyesalan atas perbuatanku selama ini hingga aku tak mampu berkata-kata. Hanya air mata yg mengalir dengan sendirinya.

"Kakak, jangan tinggalkan Icha lagi. Icha ingin selamanya bersama kakak. Icha menyesal telah menyakiti hati kakak, selamg ini Icha terlalu manja, Icha nakal. Icha janji tidak akan ngomel lagi, asal kakak tetap di sini bersama Icha, kak Ela, papa dan mama. Kakak jangan pergi lagi ya...?" Aku rasakan ada yg
menetes di punggungku. Sejuk. Icha menangis dan akupun tidak mampu menahan air mataku. Apa salahnya jika aku menangis, walau aku seorang laki-laki, aku juga punya air mata.

"Tidak sayang, kakak berjanji tidak akan meninggalkan Icha lagi. Kakak menyesal, kakak telah berbuat salah, kakak terlalu egois. Sebenarnya kakak sayang sama Icha, Ela, papa, mama. Icha jangan menangis biar kakak tidak tambah sedih. Maafkan kakak ya sayang..!" kataku sambil menyeka air matanya yg kian deras, namun tangisnya bukan malah reda, tapi kian histeris hingga aku pun tidak mampu menahan gemuruh sesak di batinku.

Seisi ruangan itupun gaduh oleh jerit tangis Icha adik kecilku yg masih beliau, Ela adikku yg sudah remaja, papa, mama yg selama ini mencurahkan kasih sayangnya kepada kami, anak-anaknya. Kulihat air mata mereka seolah tak akan pernah mau berhenti mengalir. Namun aku sangat bangga sebab walaupun amat pedih, air mata ini sangat aku harapkan berderai. Air mata bahagia setelah aku temukan kembali kasih sayang, cinta dan kedamaian. Kasih sayang mama dan papa serta cinta adik-adikku.

"Ya Allah, jangan Engkau biarkan air mata ini mengering begitu saja, sebab aku tidak rela apabila cinta dan semuanya itu hilang setelah air mata ini tak lagi tergenang."

*Kini, bersama redup mentari senja hari dan kabut tipis yg menyelimuti pelangi aku tutup memori kelam masa laluku yg penuh duri dan kucoba membuka lembaran baru dengan senyum manisku untuk Icha... Adikku sayang.

"Ach... Icha..."



Salam dari sekeping hati.

Cerpen_sEnDu

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar